Welcome

Assalamu'alaikum wr. wb. ..

Selasa, 30 Oktober 2012

Sebuah Refleksi Akhir Tahun



        Sebentar lagi kita akan memasuki tirai baru dari tahun Hijriyah. 12 bulan yang telah berlalu akan mengantarkan kita kembali pada titik awal bulan dalam tahun yang berbeda, yaitu Muharam 1434 H. Siklus yang terus berputar ini akan mengarahkan pola pikir dan pandangan manusia kedalam pandangan massa depan.
        Jika boleh menganalogikannya dengan sebuah roda, waktu yang telah berlalu ibarat sebuah perputaran, namun perputaran itu tidak akan pernah kembali pada kondisi yang sama seperti semula. Waktu ibarat manusia yang telah meninggal dunia, yang tidak pernah kembali kecuali atas kuasa-Nya. Lantas apa yang harus kita lakukan melihat kenyataan seperti itu? Masihkan kita sebagai hambanya terus meminta-minta dan mengemis pada usia yang harus segera kita sadari sedang digerogoti oleh waktu?.

       
Momentum pergantian tahun, baik itu Masehi ataupun Hijriyah merupakan fenomena alam yang bersiklus sebagaimana takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Massa peredaran bulan secara berjangka akan kembali lagi pada posisi yang sama -kembali pada siklus yang sama tetapi dalam massa yang berbeda- pada kenyataannya tidak akan kembali sesuai dengan apa yang telah dilalui. Hal sepele semacam itulah yang sering kita abaikan sebagai manusia. Allah SWT telah memberikan peringatan tentang hal tersebut, dalam Firman-Nya telah diserukan bahwa sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (Q.S. Al-Ashr). Imam Ali r.a. juga pernah menyinggung begitu vitalnya hakikat waktu dalam hidup kita, ia mengatakan bahwa “harta yang luput hari ini masih bisa saya raih besok, tetapi waktu yang berlalu hari ini takkan bisa diraih lagi sampai kapanpun”. Begitu urgent hakikat waktu dalam dinamika kehidupan manusia, namun entah mengapa banyak diantara kita yang mengabaikan eksistensi waktu. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Imam Ghazali, hal yang paling jauh itu adalah masa lalu, bahkan sedetik yang lalu itu pun adalah masa lalu, karena itu tidak akan pernah kembali.
       Bagaimana pun kita mampu meyikapi pesan-pesan mulia diatas dengan arif dan cerdas. Momentum pergantian tahun adalah sebuah cermin besar yang memperlihatkan kita pada selang waktu yang telah kita lalui. Berkaitan dengan kebaikan apa yang telah diperbuat, dosa apa yang telah terlanjur dilakukan, dan amal sholeh apa yang telah diamalkan, serta hal-hal lain yang telah kita optimalkan dalam jangka waktu tersebut. Disitulah tempat bernaungnya momentum vital dalam wacana merefleksikan hidup kita selama satu tahun silam. Dalam mempersiapkan jiwa manusia kedalam hakikat syawwal yang sebenarnya, moment seperti itul akan mampu memotivasi jiwa manusia agar senantiasa meraih peningkatan-peningkatan hidup dalam masa depan. Sehingga tujuan dan cita-cita sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa dapat tercapai.

       
Perayaan hari besar sudah menjadi bagian dari dinamika perubahan sosial masyarakat. Gejala semacam itu merupakan efek dari arus globalisasi budaya. Konsep kebudayaan mengajarkan kepada kita bahwa arus globalisasi tidak bisa dihindari, karena hal tersebut adalah salah satu kemasan dari mobilitas sosial di era modern. Proses akulturasi dan asosiasi budaya adalah benturan kecil yang akan menjadikan kekayaan nilai budaya kearifan lokal semakin meningkat. Dan menjadi tantangan kita bersama untuk mengawal dan mengawasi generasi muda dari degradasi budaya, yaitu memudarnya kearifan dan budaya yang telah melekat erat diganti dengan budaya adopsi dari luar. Salah satu bagian dari hal tersebut adalah perayaan pada momentum-momentum tertentu yang dijadikan sebagai sebuah kesakralan. Pergantian tahun hijriyah ataupun masehi jika kita mampu mengambil hikmah dengan cerdas, maka kita akan mengalami ketahanan dan peningkatan kualitas keimanan kepada Allah SWT.

       
Terlepas dari hal tersebut diatas, budaya perayaan tahun baru sudah menjadi bagian dari proses arus globalisasi yang tidak mampu kita tolak ataupun kita terima secara terbuka. Setiap jangka waktu akan bersemayam hikmah yang luar biasa jika kita mampu menemukannya. Sebagaimana melihat sebuah cermin besar dalam kehidupan, akhir tahun adalah wahana yang layak dioptimalkan untuk sebuah refleksi kehidupan. Jangan sampai keberlangsungan kehidupan kita di massa yang akan datang justru mengalami degradasi budaya keislaman dan keilmuan kita. Kearifan lokal keislaman yang telah menjadi local wisdom ­masyarakat kita sudah selayaknya kita pertahankan, demi eksistensi keislaman dalam hidup berkemanusiaan. Sebagaimana janji yang telah diserukan oleh Allah SWT, bahwa kita sebagai bagian dari umatnya yang bertaqwa agar terjauh dari kerugian, dan laknat-Nya.

       
Sadari sejak dini, usia yang sedang kita emban akan diakhiri oleh waktu yang terus berjalan, yang disebut itu takdir. Menempatkan momentum pergantian tahun sebagai buah refleksi diri satu tahun yang berlalu, maka kita akan mampu ikrarkan sebuah janji kebaikan, yang akan menjadi pondasi dan tonggak kita dalam melangkan selama satu tahun kemudian. Sebagai bagian dari cerminan kebaikan, marilah kita memulainya dari dalam diri kita masing-masing. Sebuah perubahan dimulai dari pencetus perubahan itu dan kemudian menyalurkan pada elemen perubahan yang lain. Inilah bentuk semangat fastabiqul khoirat yang berazazkan ­amar makruf nahi munkar. Dengan merefleksikan jiwa kita di akhir tahun Hijriyah ini, semoga kemuliaan dan kebahagiaan menanti kita pada permulaan tahun Hijriyah setahun silam. Semoga kita menjadi bagian dari hambanya yang beruntung, bukan bagian hambanya yang merugi.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Masihkah Kau Mengangkatku dengan Kedua Tanganmu?


        Seorang atlet angkat besi -bisa dibilang sebagai atlet yang profesional- dalam sebuah wawancara ditanyai oleh seorang wartawan dari salah satu media terkemuka. “strategi apa yang anda gunakan hingga mampu mengangkat beban seberat itu ?”, tanya wartawan itu. Atlet itu menjawab: “Saya tidak menggunakan strategi apa-apa, hanya keyakinan dalam diri saya bahwa saya sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”. Itulah kutipan wawancara singkat dari jawara angkat besi di sebuah kompetisi keolahragaan cabang angkat besi. Setelah melakukan wawancara singkat, pria bertubuh sangar itu kemudian naik ke atas podium untuk penyerahan medali. Tak pernah ia membayangkan sebelumnya bahwa ia akan mampu untuk meraih medali emas, hanyalah bermodal keyakinan yang ia tanamkan pada dirinya dan usaha maksimal bahwa ia mampu mengangkat beban yang lebih berat di setiap angkatannya, dan melakukannya dengan lebih baik.

        Melihat dari situ, kunci dari sebuah keberhasialan salah satunya dengan menanamkan keyakinan dan memaksimalkan kemampuan. Tanpa memperhitungkan hasil, ketika kita yakin dan maksimal dalam menjalankan, dengan usaha yang baik dan fokus maka hasil yang kelak diperoleh akan sesuai dengan usaha dan keyakinan yang kita tanamkan sejak awal. Karena keberhasilan itu bergantung pada proses dan keyakinan dalam menjalankannya. Man jadda wajada, untaian mantra sihir yang akan memopa kemampuan kita untuk berani melangkah dengan keyakinan yang terbaik yang pernah kita miliki.

        Disini saya ingin membagi pengalaman saya berkaitan dengan dinamisme organisasi dan pergerakan. Nyatanya -karena ini merupakan realita- kehidupan seorang aktivis tak akan terlepas dari sebuah amanah. Banyak diantara mereka yang karena militansi dan idealisme yang tinggi dalam berorganisasi, mempunyai banyak aktivitas dalam payung atap pergerakan yang berbeda-beda. Semangat pengembangan kemampuan yang menjadi dasar mereka konsisten dalam menjalankan rutinitas keorganisasiannya. Namun, di lain sisi ketika eksistensi dan kontribusi para aktivis tersebut mampu dijalankan dengan baik –dalam pandangan pergerakan tertentu- maka kontribusi mereka pun akan semakin dibutuhkan dalam persaingan mobilitas antar pergerakan dan organisasi. Tarik ulur kontribusi dalam berorganisasi pun silih berganti menghiasi buku harian para aktivis.

        Kasus yang sering terjadi -mungkin saya juga mengalami-, dualisme organisasi adalah trending topic, yang merupakan part of the problem yang harus diselesaikan. Contohnya; ketika organisasi yang ia geluti sedang mempunyai gawe yang besar, dan kontribusi pengurus aktif sedang dibutuhkan, maka eksistensi dan loyalitas seorang pengurus dalam berorganisasi harus mampu dioptimalkan dan dimaksimalkan dengan baik, agar keterselenggaraan gawe tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sukses. Akan menjadi sebuah permasalahan baru ketika hal tersebut juga sedang dialami oleh organisasi atau pergerakan lain yang ia pun juga aktif didalamnya, kontribusinya juga sangat dibutuhkan. Terjadi tarik-ulur antara kedua belah pihak (ini jika ia aktif dalam dua organisasi), belum lagi semisal aktivis dalam tiga organisasi, atau bahkan lebih. Kemampuan dan profesionalitas serta etos kerja seorang aktivis dipertanyakan dalam hal ini, sanggup kah ia mengangkat beban berat yang ia emban?, masihkah kau mengangkatku dengan kedua tanganmu?.

hanya keyakinan dalam diri saya bahwa saya sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”.

        Tapi kenyataannya, beban yang ia yakini mampu untuk ia angkat tidak dapat ia angkat dengan baik. Walaupun mungkin beban yang ia angkat itu tak seberat beban-beban yang lain. Ia yakin mampu mengangkat amanah tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya usaha yang ia lakukan hanya sebatas omongan dan terkesan setengah-setengah. Kecemburuan sosial organisasi akan terjadi jika hal semacam ini terus mewabah dalam lingkungan aktivis pergerakan dan organisasi. Sebuah amanah itu memang berat, namun jika kita yakin mampu mengangkatnya dengan usaha yang baik, maka hasil yang terbaik pun akan kita dapatkan. Tetapi ketika keyakinan itu tak diimbangi dengan usaha dan etos kerja profesional yang baik, maka amanah itu pun tidak akan mampu terangkat dengan baik, walaupun perlombaan itu tetap terlaksana.

        Pemimpin adalah kemudi utama dalam kendaraan, baik buruknya sebuah perjalanan tergantung pada pengemudinya. Amanah untuk menjadi seorang jendral perjalanan adalah amanah yang paling berat, dimana tanggung jawabnya akan digadaikan dengan hasil dari ketercapaian amanah tersebut. Sebagai seorang aktivis organisasi, antara jawaban ‘iya’ ataupun ‘tidak’ sangatlah penting untuk orientasi kedepan. Amanah yang berat seperti itu akan terasa lebih berat jika kita hanya mengangkatnya dengan sebelah tangan, begitulah beratnya nilai amanah jika usaha kita tak 100% loyal kita berikan kepada hal tersebut. Tersindirlah hati kita atas perkataan Benyam Franklin, bahwa melakukan yang baik itu memang lebih baik daripada mengucapkan yang terbaik.

        Kita belajar kembali pada perkataan jawara angkat besi; hanya keyakinan dalam diri bahwa akan sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu. Mempertimbangkan; Keyakinan, Usaha Maksimal, Etos dan profesionalitas dalam bekerja akan membuat militansi dalam berorganisi akan meningkat. Kadang kita harus memaksa ketegasan dalam memilih, terima jika sanggup dan tolak jika tak sanggup -walaupun sebenarnya mampu- daripada kita hanya mengangkat amanah tersebut dengan sebelah tangan. Itu akan lebih baik daripada tak mampu maksimal dalam mengangkat amanah setinggi seperti jawara angkat besi.

Setiap Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin olehnya, bukan semata-mata ucapan manusia tetapi seperti itulah janji-Nya kepada kita.

Sabtu, 10 Maret 2012

Di Pundak Saya Masa Depan Bangsa


            Bangsa indonesia adalah bangsa besar, kebesaran bangsa Indonesia mencakup segala hal, kondisi alamnya yang subur, kekayaan hayati yang terhempas luas di laut bumi pertiwi, hingga mutiara-mutiara muda yang mempunyai kemampuan luar biasa sebagai sumber daya manusia di masa depan. Dari data terakhir mencatat jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Bisa dibayangkan jika kekayaan alam bumi indonesia jika dikelola dengan baik maka dengan jumlah sumber daya manusia sebanyak itu, untuk mengolah kekayaan yang dimiliki bangsa indonesia ini sudah lebih dari cukup. Jika itu diberdayagunakan semaksimal mungkin, tidak perlu untuk berharap apalagi bermimpi, karena sepululuh hingga dua puluh tahun lagi bangsa Indonesia akan menjadi penguasa adidaya dunia.

Jika berbicara usia bangsa Indonesia, sudah hampir 67 tahun bangsa ini terlahir dan merdeka dari penjajahan asing. Lebih dari tiga setengah abad bangsa ini haru mengemis dalam kekayaannya sendiri, sudah lelah masyarakat indonesia jika harus mengulangi hal yang sama di era demokrasi semacam ini. Bangsa Indonesia sudah hampir 67 tahun merdeka dari belenggu penjajahan kolonial negara asing, apakah benar kita sebagai masyarakat indonesia sudah menikmati kemerdekaan itu sampai sekarang ?. Merdeka secara hukum tapi ralitanya masih terjajah oleh imperialisasi asing, tidak heran jika kita temui banyak perusahaan-perusahaan asing yang mempunyai proyek saham di Indonesia, sedangkan perusahaan milik bangsa Indonesia sendiri terbengkalai, hingga sampai ada yang gulung tikar.

            Banyak kalangan tokoh politik dan kritikus bangsa beranggapan bahwa masih terlalu dini untuk memimpikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar atau jadi penguasa di bangsa-bangsa dunia. tetapi apa salahnya jika semua itu di impikan oleh penduduk Indonesia, khususnya bagi para pemuda bangsa sebagai penerus tongkat estafet masa depan bangsa. Jika kita lihat banyak sekali potensi alam yang terbentang luas di belahan seluruh nusantara, dari sabang sampai merauke semuanya mempunyai potensi alam yang melimpah, baik sumber daya pangan, sumber daya energi, maupun sumber daya wisata yang senantiasa menampakkan keelokan wajah bumi nusantara. Itulah indonesia, negeri yang kaya dan indah, namun entah mengapa hingga sekarang belum mampu mengolah kekayaannya dan keindahan alamnya sendiri, hingga untuk pengelolaannya saja masih sampai meminta bantuan pada negara asing.
“Berikanlah saya sepuluh pemuda, maka akan saya bawa bangsa Indonesia menuju peradaban dunia”.
setidaknya seperti itulah semangat yang disuarakan oleh bung karno untuk para pemuda bangsa.

            Siapa yang tidak mengenalnya, tentunya masih hangat dalam telinga kita tentang mobil esemka, siapa yang mampu menciptakannya, siapa yang berani berinovasi menciptakan krativitasnya melawan teknologi dunia, yaitu mereka para pemuda-pemuda bangsa. Mereka semangatkan dalam diri mereka masing-masing, jika bangsa lain pun bisa menciptakan teknologi semacam itu, pasti bangsa Indonesia pun jauh lebih bisa. Semangat pemuda sebagai pondasi utama dalam bangunan kebangsaan, tiang yang masih kokoh akan kuat menopang godaan dan terpaan angin-angin adidaya bangsa asing, semangat itulah yang dimiliki para pemuda bangsa, jika kita memandangnya lebih mengerucut, diantara pemuda-pemuda itu tidak lain kita juga merupakan bagian dari pemuda bangsa itu, yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Tidak hanya produk esemka, terlalu banyak dan mungkin tidak akan ada habisnya jika kita membicarakan tentang berbagai prestasi anak bangsa indonesia, baik dikancah nusantara maupun dunia. Dari segi Iptek, sains, sosial, ekonomi banyak sekali prestasi yang dapat di raih oleh mutiara bangsa Indonesia.

Jika mereka bisa kenapa kita tidak bisa, motto itulah yang harus mulai kita tanamkan dalam diri kita masing-masing, semangat perjuangan dalam berkarya dan berinovasi dari berbagai macam kreativitas dan sub ilmu yang kita miliki, kita tuangkan kedalam bentuk karya dengan kemasan yang indah. Dari kita untuk mereka, dari mereka untuk kemajuan bangsa. Mulailah berinovasi dan berkreasi dari dalam diri kita sendiri, karena secara tidak langsung kreasi dan semangat yang kita munculkan dari dalam diri kita akan berdampak baik pula bagi orang-orang disekeliling kita, dari ruang lingkup kecil hingga akhirnya besar dan terus membesar, karena sebaik-baik manusia dimata Allah adalah yang bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya.

Bukan lagi waktunya kita sebagai pemuda untuk selalu mengeluh atas apa yang bangsa berikan kepada kita, tetapi bangsa Indonesia lah yang seharusnya mengeluh kepada kita, apa yang sudah kita berikan kepada bangsa Indonesia. Jika kita lihat merah-putih hanyalah benda mati, tetapi akan hidup jika kita mau dan mampu untuk menghidupkannya dan mengibarkannya menuju langit dunia.

Kearifan lokal bangsa yang harus senantiasa dijaga, jangan selalu kita sebagai pemuda harus mengadobsi dari budaya-budaya asing yang mungkin secara tidak langsung akan melemahkan mental kita sebagai bangsa yang besar. Menumbuhkan sifat konsumtif dan mematikan potensi kita untuk selalu produktif dan aktif, jangan takut kita akan di hina oleh bangsa adidaya, sebenarnya merekalah yang akan takut jika kita tidak takut kepada mereka. Jika pemuda bergerak mengolah dan menciptakan karya yang dialokasikan kepada masyarakat Indonedia sendiri, maka kemana negara-negara adidaya itu akan memasarkan produk-produknya selain kepada bangsa Indonesia. Jika pemuda bangsa Indonesia sudah mampu untuk mengidupi masyarakat indonesia dengan karya anak bangsa, maka tidak perlu lagi kita membelinya dari negara asing. Memaksimalkan potensi bangsa untuk perkembangan dan kemajuan bangsa itu sendiri.

Pemuda bangsa yang visioner terhadap bangsa indonesia, berkarya demi kemajuan bangsa, dengan semangat yang masih membara pada jiwa-jiwa muda bangsa. Perlu di mengerti dan di pahami, bahwa dalam jiwa kita, diatas pundak kita masing-masinglah bangsa Indonesia ini akan kita bawa, di tangan kita pulalah tongkat estafet bangsa ini akan kita bawa lari menuju garis kemerdekaan bangsa yang sebenarnya. Niscaya jika ingin menjadi suatu bangsa yang besar di dunia, bangsa Indonesia tak perlu lagi bermimpi, pemuda bangsanya lah yang akan mewujudkan semua mimpi-mimpi para pahlawan bangsa, menuju dan akhirnya menjadi bangsa yang kokoh berdiri dalam singgasana dunia.

Man jadda wajada, bangsa Indonesia akan bisa jika kita berani bergerak, berusaha, dan berkarya untuk Indonesia.

Senin, 06 Februari 2012


Ikhlaslah menjadi tanah

Tanah adalah komponen utama yang menyelimuti seluruh bagian bumi sebagai pijakan makhluk hidup diseluruh dunia. Jika kita lihat sebongkah tanah yang lembek jika terkena terik matahari dan derai tiup angin lama kelamaan akan mengering, menjadi seperti apa yang menjadi wujudnya ketika ia basah, dan tak akan berubah bentuk dan wujud kecuali ada sentuhan makhluk disekitarnya. Sampai kapanpun tanah akan tetap menjadi tanah dan tak akan berubah menjadi yang lain, kecuali kehendak dari yang menciptakan tanah.

Jika kita melihat keramik yang mempunyai nilai estetis keindahan yang tinggi pasti mempunyai nilai jual yang tinggi pula, dan karena hal tersebut keramik itu dapat laku dipasaran. Keramik yang baik dan mahal dibentuk karena keuletan dan kerja keras dari terpaan tangan pengrajin yang membuatnya, dengan sabar dan lembut membentuk tanah liat yang basah menjadi sebuah keramik yang memiliki nilai estetis yang ‘wah’.

Sebelum menjadi barang yang ‘wah’, sebagai seorang tanah liat, ia tetap istoqomah untuk menjadi tanah liat dan tidak pernah mengeluh atau mungkin ingin berubah menjadi sebatang pohon besar. Walaupun ia dijatuhkan, dilempar, dibanting, atau bahkan di pisah-pisah dari bagian yang lain oleh si pembuat keramik, tanah tetap tulus dan ikhlas menerima terpaan dan polesan yang dilakukan oleh sang pengrajin kepadanya, karena ia tahu bahwa ia akan menjadi barang yang lebih bermanfaat daripada sebidang tanah yang hanya sebagai injakan dan pijakan kaki manusia dan makhluk-makhluk disekitarnya.

Jika (hanya) dari tangan manusia saja, tanah liat mampu dibuat menjadi barang yang sangat baik dan indah, Bagaimanakah jika tangan Allah yang menerpa dan memoles tanah itu, pastilah seburuk buatan Allah adalah sebaik keramik buatan manusia.

Kadang kita mengeluh atas kehidupan kita sebagaia manusia di dunia, entah kenapa setiap penyesalan selalu datang pada waktu yang telat. Dan kenapa Allah meletakkan penyesalan selalu pada bingkai akhir dalam setiap peristiwa dan permasalahan, tentunya setelah kita melakukan sebuah kesalahan, baik sekecil kesalahan maupun sebesar kesalahan yang pernah kita sebagai manusia perbuat, lantas kita berpikiran bahwa langkah pencegahan dari Allah kepada manusia tidak ada.

Coba kita manusia ibaratkan diri kita dengan keramik buatan tangan manusia, jika kita adalah keramik, maka manusia adalah tuhan. Sebaik-baik dan seindah tanah liat adalah yang diolah menjadi barang yang berguna. Jika kita keramik maka kita sebelumnya adalah tanah, sebongkah tanah yang tak bermanfaat. Ketika manusia dalam membuat sebongkah tanah liat basah itu, maka manusia akan membentuk kita menjadi berbagai macam bentuk, ada yang hanya menjadi handycraft biasa, ada yang menjadi batu bata, dan juga ada yang menjadi sebatang keramik yang indah.

Apa yang dapat kita pahami dari hal itu, tangan Allah Adalah ‘ujian’ yang ditimpakan pada kita (manusia yang diciptakan dari tanah), semakin banyak kita ditimpa ujian maka semakin halus pula pribadi kita untuk menjadi sebuah keramik yang bagus, setiap ada goresan (keburukan dan dosa) pada keramik yang masih basah, Allah selalu memolesnya kembali menjadi halus, semakin kita tulus dan ikhlas menerima terpaan tangan Allah SWT, semakin bagus pula bentuk pribadi kita didunia, semakin di butuhkan pula sosok kita dalam pasar kehidupan dunia. Dan jika kita memang layak menjadi sebuah keramik yang indah, niscaya Allah akan memasang kita sebagai hiasan di rumah surganya.

Betapa lapang tangan Allah membuka pintu maaf kepada manusia, bahkan ketika kita sudah melakukan dosa besar sekali pun, tangan Allah tetap dan selalu akan memoles goresan dosa kita untuk kembali menjadi tanah yang halus dan indah, sungguh maha pemurah lagi maha penyayang.

Betapa besar karunia Allah kepada kita umat manusia jika dipandang dari sudut pandang positif, tetapi entah kenapa kita selalu dan senantiasa melihat karunia dan nikmat Allah hanya dari sudut pandang sebelah mata, padahal Allah telah memberikan kita dua mata agar kita mampu melihat setiap masalah dari berbagai sisi.

Tanah liat yang basah tidak akan pernah lari dari polesan manusia untuk dijadikan sebuah benda yang mempunyai kemanfaatan bagi orang disekitarnya. Terpaan Allah kepada kita adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia, karena Allah ingin menciptakan hiasan-hiasan yang indah yang akan menghiasi dinding-dinding surga-Nya yang juga akan ia peruntukkan bagi semua makhluk hidup dunia yang bertaqwa kepada-Nya.

Sabtu, 28 Januari 2012


Menggayuh Sepeda Organisasi
Oleh : Imron Wafdurrahman
                

‘Wal takum minkum umatunyad’uuna ilal khoiri wa yak muruuna bil makrufi wa yanhauna anil munkar’.

Lihat, begitu pentingnya peran dari sebuah roda dalam sepeda diantara komponen yang lainnya. Jika sepeda itu ingin dijalankan, maka roda yang ada pada sepeda itu harus diputar. Secara kasat mata digambarkan pengorbanan dari dua buah roda dalam sebuah sepeda itu. Roda itu rela menjadi topangan dan tindihan rangkai sepeda, walaupun berat ia tak pernah mengeluh, meskipun lelah ia tak pernah merintih, ia rela menginjakkan tubuhnya pada kerasnya aspal jalan, ia rela merasakan tidak meratanya permukaan tanah yang dilalui sepeda tanpa sedikitpun merasa iri kepada penggayuh sepeda itu. Dengan semangat konsisten dan dedikasinya kepada rangkai sepeda, ia pun berkorban tanpa keluh kesah demi dapat berjalannya sebuah sepeda itu menuju tujuan dan keinginan yang mulia dari penggayuhnya. Roda merupakan bagian yang sangat vital dari komponen sepeda yang lainnya, karena jika tak ada roda, maka sebaik dan sebagus apapun sepeda itu tetap tidak akan mampu untuk dijalankan.

                Jika diibaratkan sepeda itu adalah sebuah organisasi, maka roda yang menopang jalannya sepeda itu adalah kepengurusan yang ada didalamnya. Baik-buruknya kinerja dan jalan suatu organisasi dapat ditentukan oleh dedikasi dan konsisten dari para pengurusnya. Jika mereka konsisiten dan kompak dalam bekerja maka jalan suatu organisasi itu akan mulus walaupun diterpa berbagai problema yang terjadi, semisal jalan yang tidak rata yang dilalui oleh sepeda organisasi itu atau mungkin ketika roda itu kempes tertusuk benda tajam dari jalanan yang dilalui (problem internal pengurus). 

Jika ban roda itu bocor, maka sepeda itu tetap mampu berjalan tetapi dengan kondisi yang tidak stabil. Malah jika hal itu tidak diperbaiki lebih lanjut dan dibiarkan saja, lama kelamaan sepeda yang melaju itu akan terpental karena ketidakseimbangan antara penopangnya, dalam hal ini adalah kedua buah rodanya yang satu sama lain terdapat perbedaan volume masing-masing.

                Tak jauh beda, suatu organisasi jika tidak ditopang oleh kekompakan kinerja pengurusnya maka organisasi itu akan terombang-ambing dalam perjalanannya menuju tujuan utamanya. Sebelum ban itu tertancap benda tajam dan kemudian kempes, alangkah baiknya kita harus mengendalikan jalannya organisasi itu dengan sangat berhati-hati tidak lengah dengan kondisi trayek didepan sana agar semangat yang terdapat dalam ban roda itu tidak kempes ditengah jalan.

                Masalah internal pengurus merupakan bentuk dan bukti kurangnya perhatian dan perawatan dari sosok peemimpin yang ada dalam suatu organisasi tersebut. Disini seorang pemimpin kurang dapat mengayomi suara dan aspirasi dari penggurus yang lain dan komponen yang ada dalam tubuh organisasi. Ibarat sepeda pemimpin adalah penggayuhnya. Bukan roda yang satu merawat roda yang lain, bukan pula komponen yang satu memimpin komponen yang lain, tetapi pemimpin laju sepeda itulah yang harus senantiasa menjaga keadaaan tiap komponen sepeda agar tetap solid dan terpasang kuat pada tempatnya masing-masing. Ketika mulai kendor, pemimpinlah yang harus menguatkan tiap baut-baut motivasi pengurus, mengencangkan dengan alat yang sesuai dengan tiap komponennya masing-masing (dengan cara yang baik).

                Roda, berputar dan terus berputar. Seperti halnya kehidupan manusia, seperti motivasi dalam tubuh manusia yang selalu berputar mengikuti alur kehidupan yang dilaluinya. Tak ada gading yang tak retak, karena kesempurnaan gading itu karena ada keretakannya. Kesempurnaan kinerja suatu organisasi akan semakin sempurna jika ia mampu mengendalikan keretakan yang mulai timbul dalam tubuh organisasi, dengan menyelesaikan permasalahan internal dari pengurus dengan menebarkan kebaikan padanya. berputarlah dengan lancar, jaga selalu kekompakan dan konsisten pada tempatnya, gayuh dengan kuat roda itu, agar sepeda itu dapat melaju mulus dalam alur perjalanan menuju arah kemana tujuan awalnya.

                Suatu saat, ketika roda itu tak mampu dan sudah tak kuat menopang sebuah sepeda, maka dibutuhkan roda yang baru sebagai penggantinya. Tak perlu khawatir dengan hal itu, karena dengan membengkelkan sepeda itu, maka akan didapatkan komponen pembangun sepeda yang baru dengan semangat yang baru pula untuk dapat memajukan dan menjalankan sepeda itu lebih kencang, stabil, dan konsisten pada tujuannya.

‘Bike to work and work as bike’

Fastabiqul khoirats bil amar makruf nahi munkar, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat dan mampu membaikkan orang-orang disekitarnya.