Welcome

Assalamu'alaikum wr. wb. ..

Sabtu, 25 Agustus 2012

Masihkah Kau Mengangkatku dengan Kedua Tanganmu?


        Seorang atlet angkat besi -bisa dibilang sebagai atlet yang profesional- dalam sebuah wawancara ditanyai oleh seorang wartawan dari salah satu media terkemuka. “strategi apa yang anda gunakan hingga mampu mengangkat beban seberat itu ?”, tanya wartawan itu. Atlet itu menjawab: “Saya tidak menggunakan strategi apa-apa, hanya keyakinan dalam diri saya bahwa saya sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”. Itulah kutipan wawancara singkat dari jawara angkat besi di sebuah kompetisi keolahragaan cabang angkat besi. Setelah melakukan wawancara singkat, pria bertubuh sangar itu kemudian naik ke atas podium untuk penyerahan medali. Tak pernah ia membayangkan sebelumnya bahwa ia akan mampu untuk meraih medali emas, hanyalah bermodal keyakinan yang ia tanamkan pada dirinya dan usaha maksimal bahwa ia mampu mengangkat beban yang lebih berat di setiap angkatannya, dan melakukannya dengan lebih baik.

        Melihat dari situ, kunci dari sebuah keberhasialan salah satunya dengan menanamkan keyakinan dan memaksimalkan kemampuan. Tanpa memperhitungkan hasil, ketika kita yakin dan maksimal dalam menjalankan, dengan usaha yang baik dan fokus maka hasil yang kelak diperoleh akan sesuai dengan usaha dan keyakinan yang kita tanamkan sejak awal. Karena keberhasilan itu bergantung pada proses dan keyakinan dalam menjalankannya. Man jadda wajada, untaian mantra sihir yang akan memopa kemampuan kita untuk berani melangkah dengan keyakinan yang terbaik yang pernah kita miliki.

        Disini saya ingin membagi pengalaman saya berkaitan dengan dinamisme organisasi dan pergerakan. Nyatanya -karena ini merupakan realita- kehidupan seorang aktivis tak akan terlepas dari sebuah amanah. Banyak diantara mereka yang karena militansi dan idealisme yang tinggi dalam berorganisasi, mempunyai banyak aktivitas dalam payung atap pergerakan yang berbeda-beda. Semangat pengembangan kemampuan yang menjadi dasar mereka konsisten dalam menjalankan rutinitas keorganisasiannya. Namun, di lain sisi ketika eksistensi dan kontribusi para aktivis tersebut mampu dijalankan dengan baik –dalam pandangan pergerakan tertentu- maka kontribusi mereka pun akan semakin dibutuhkan dalam persaingan mobilitas antar pergerakan dan organisasi. Tarik ulur kontribusi dalam berorganisasi pun silih berganti menghiasi buku harian para aktivis.

        Kasus yang sering terjadi -mungkin saya juga mengalami-, dualisme organisasi adalah trending topic, yang merupakan part of the problem yang harus diselesaikan. Contohnya; ketika organisasi yang ia geluti sedang mempunyai gawe yang besar, dan kontribusi pengurus aktif sedang dibutuhkan, maka eksistensi dan loyalitas seorang pengurus dalam berorganisasi harus mampu dioptimalkan dan dimaksimalkan dengan baik, agar keterselenggaraan gawe tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sukses. Akan menjadi sebuah permasalahan baru ketika hal tersebut juga sedang dialami oleh organisasi atau pergerakan lain yang ia pun juga aktif didalamnya, kontribusinya juga sangat dibutuhkan. Terjadi tarik-ulur antara kedua belah pihak (ini jika ia aktif dalam dua organisasi), belum lagi semisal aktivis dalam tiga organisasi, atau bahkan lebih. Kemampuan dan profesionalitas serta etos kerja seorang aktivis dipertanyakan dalam hal ini, sanggup kah ia mengangkat beban berat yang ia emban?, masihkah kau mengangkatku dengan kedua tanganmu?.

hanya keyakinan dalam diri saya bahwa saya sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”.

        Tapi kenyataannya, beban yang ia yakini mampu untuk ia angkat tidak dapat ia angkat dengan baik. Walaupun mungkin beban yang ia angkat itu tak seberat beban-beban yang lain. Ia yakin mampu mengangkat amanah tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya usaha yang ia lakukan hanya sebatas omongan dan terkesan setengah-setengah. Kecemburuan sosial organisasi akan terjadi jika hal semacam ini terus mewabah dalam lingkungan aktivis pergerakan dan organisasi. Sebuah amanah itu memang berat, namun jika kita yakin mampu mengangkatnya dengan usaha yang baik, maka hasil yang terbaik pun akan kita dapatkan. Tetapi ketika keyakinan itu tak diimbangi dengan usaha dan etos kerja profesional yang baik, maka amanah itu pun tidak akan mampu terangkat dengan baik, walaupun perlombaan itu tetap terlaksana.

        Pemimpin adalah kemudi utama dalam kendaraan, baik buruknya sebuah perjalanan tergantung pada pengemudinya. Amanah untuk menjadi seorang jendral perjalanan adalah amanah yang paling berat, dimana tanggung jawabnya akan digadaikan dengan hasil dari ketercapaian amanah tersebut. Sebagai seorang aktivis organisasi, antara jawaban ‘iya’ ataupun ‘tidak’ sangatlah penting untuk orientasi kedepan. Amanah yang berat seperti itu akan terasa lebih berat jika kita hanya mengangkatnya dengan sebelah tangan, begitulah beratnya nilai amanah jika usaha kita tak 100% loyal kita berikan kepada hal tersebut. Tersindirlah hati kita atas perkataan Benyam Franklin, bahwa melakukan yang baik itu memang lebih baik daripada mengucapkan yang terbaik.

        Kita belajar kembali pada perkataan jawara angkat besi; hanya keyakinan dalam diri bahwa akan sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu. Mempertimbangkan; Keyakinan, Usaha Maksimal, Etos dan profesionalitas dalam bekerja akan membuat militansi dalam berorganisi akan meningkat. Kadang kita harus memaksa ketegasan dalam memilih, terima jika sanggup dan tolak jika tak sanggup -walaupun sebenarnya mampu- daripada kita hanya mengangkat amanah tersebut dengan sebelah tangan. Itu akan lebih baik daripada tak mampu maksimal dalam mengangkat amanah setinggi seperti jawara angkat besi.

Setiap Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin olehnya, bukan semata-mata ucapan manusia tetapi seperti itulah janji-Nya kepada kita.