Welcome

Assalamu'alaikum wr. wb. ..

Selasa, 30 Oktober 2012

Sebuah Refleksi Akhir Tahun



        Sebentar lagi kita akan memasuki tirai baru dari tahun Hijriyah. 12 bulan yang telah berlalu akan mengantarkan kita kembali pada titik awal bulan dalam tahun yang berbeda, yaitu Muharam 1434 H. Siklus yang terus berputar ini akan mengarahkan pola pikir dan pandangan manusia kedalam pandangan massa depan.
        Jika boleh menganalogikannya dengan sebuah roda, waktu yang telah berlalu ibarat sebuah perputaran, namun perputaran itu tidak akan pernah kembali pada kondisi yang sama seperti semula. Waktu ibarat manusia yang telah meninggal dunia, yang tidak pernah kembali kecuali atas kuasa-Nya. Lantas apa yang harus kita lakukan melihat kenyataan seperti itu? Masihkan kita sebagai hambanya terus meminta-minta dan mengemis pada usia yang harus segera kita sadari sedang digerogoti oleh waktu?.

       
Momentum pergantian tahun, baik itu Masehi ataupun Hijriyah merupakan fenomena alam yang bersiklus sebagaimana takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Massa peredaran bulan secara berjangka akan kembali lagi pada posisi yang sama -kembali pada siklus yang sama tetapi dalam massa yang berbeda- pada kenyataannya tidak akan kembali sesuai dengan apa yang telah dilalui. Hal sepele semacam itulah yang sering kita abaikan sebagai manusia. Allah SWT telah memberikan peringatan tentang hal tersebut, dalam Firman-Nya telah diserukan bahwa sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (Q.S. Al-Ashr). Imam Ali r.a. juga pernah menyinggung begitu vitalnya hakikat waktu dalam hidup kita, ia mengatakan bahwa “harta yang luput hari ini masih bisa saya raih besok, tetapi waktu yang berlalu hari ini takkan bisa diraih lagi sampai kapanpun”. Begitu urgent hakikat waktu dalam dinamika kehidupan manusia, namun entah mengapa banyak diantara kita yang mengabaikan eksistensi waktu. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Imam Ghazali, hal yang paling jauh itu adalah masa lalu, bahkan sedetik yang lalu itu pun adalah masa lalu, karena itu tidak akan pernah kembali.
       Bagaimana pun kita mampu meyikapi pesan-pesan mulia diatas dengan arif dan cerdas. Momentum pergantian tahun adalah sebuah cermin besar yang memperlihatkan kita pada selang waktu yang telah kita lalui. Berkaitan dengan kebaikan apa yang telah diperbuat, dosa apa yang telah terlanjur dilakukan, dan amal sholeh apa yang telah diamalkan, serta hal-hal lain yang telah kita optimalkan dalam jangka waktu tersebut. Disitulah tempat bernaungnya momentum vital dalam wacana merefleksikan hidup kita selama satu tahun silam. Dalam mempersiapkan jiwa manusia kedalam hakikat syawwal yang sebenarnya, moment seperti itul akan mampu memotivasi jiwa manusia agar senantiasa meraih peningkatan-peningkatan hidup dalam masa depan. Sehingga tujuan dan cita-cita sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa dapat tercapai.

       
Perayaan hari besar sudah menjadi bagian dari dinamika perubahan sosial masyarakat. Gejala semacam itu merupakan efek dari arus globalisasi budaya. Konsep kebudayaan mengajarkan kepada kita bahwa arus globalisasi tidak bisa dihindari, karena hal tersebut adalah salah satu kemasan dari mobilitas sosial di era modern. Proses akulturasi dan asosiasi budaya adalah benturan kecil yang akan menjadikan kekayaan nilai budaya kearifan lokal semakin meningkat. Dan menjadi tantangan kita bersama untuk mengawal dan mengawasi generasi muda dari degradasi budaya, yaitu memudarnya kearifan dan budaya yang telah melekat erat diganti dengan budaya adopsi dari luar. Salah satu bagian dari hal tersebut adalah perayaan pada momentum-momentum tertentu yang dijadikan sebagai sebuah kesakralan. Pergantian tahun hijriyah ataupun masehi jika kita mampu mengambil hikmah dengan cerdas, maka kita akan mengalami ketahanan dan peningkatan kualitas keimanan kepada Allah SWT.

       
Terlepas dari hal tersebut diatas, budaya perayaan tahun baru sudah menjadi bagian dari proses arus globalisasi yang tidak mampu kita tolak ataupun kita terima secara terbuka. Setiap jangka waktu akan bersemayam hikmah yang luar biasa jika kita mampu menemukannya. Sebagaimana melihat sebuah cermin besar dalam kehidupan, akhir tahun adalah wahana yang layak dioptimalkan untuk sebuah refleksi kehidupan. Jangan sampai keberlangsungan kehidupan kita di massa yang akan datang justru mengalami degradasi budaya keislaman dan keilmuan kita. Kearifan lokal keislaman yang telah menjadi local wisdom ­masyarakat kita sudah selayaknya kita pertahankan, demi eksistensi keislaman dalam hidup berkemanusiaan. Sebagaimana janji yang telah diserukan oleh Allah SWT, bahwa kita sebagai bagian dari umatnya yang bertaqwa agar terjauh dari kerugian, dan laknat-Nya.

       
Sadari sejak dini, usia yang sedang kita emban akan diakhiri oleh waktu yang terus berjalan, yang disebut itu takdir. Menempatkan momentum pergantian tahun sebagai buah refleksi diri satu tahun yang berlalu, maka kita akan mampu ikrarkan sebuah janji kebaikan, yang akan menjadi pondasi dan tonggak kita dalam melangkan selama satu tahun kemudian. Sebagai bagian dari cerminan kebaikan, marilah kita memulainya dari dalam diri kita masing-masing. Sebuah perubahan dimulai dari pencetus perubahan itu dan kemudian menyalurkan pada elemen perubahan yang lain. Inilah bentuk semangat fastabiqul khoirat yang berazazkan ­amar makruf nahi munkar. Dengan merefleksikan jiwa kita di akhir tahun Hijriyah ini, semoga kemuliaan dan kebahagiaan menanti kita pada permulaan tahun Hijriyah setahun silam. Semoga kita menjadi bagian dari hambanya yang beruntung, bukan bagian hambanya yang merugi.