Apakah benar kita ini orang mukmin? Apakah sudah layak
kita ini disebut sebagai seorang yang muslim? Ataukah sebenarnya identitas
kafirlah yang cocok melekat pada diri kita ?. Jangan terburu-buru untuk
membicarakan identitas terlebih dahulu sebelum kita mengetahui hakikat dari apa
yang sedang kita perbincangkan. Mukmin, Muslim, dan Kafir, Seperti apakah
definisi yang sebenarnya?.
“Kendati kata-kata tersebut menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari kita. Namun bisa jadi pengertiannya belum kita sadari sepenuhnya
kecuali pengertian text book”.
(Dosen Sastra Arab di sebuah Universitas di Malang)
(Dosen Sastra Arab di sebuah Universitas di Malang)
Mengawali urain tentang ketiga hal
tersebut diatas, marilah kita memulainya dengan menjelaskan definisi mukmin
menurut Rasulullah SAW. Mukmin berarti orang yang memberika rasa aman kepada
semua manusia terhadap harta, darah, dan kehormatannya. Terlepas dari konteks
agama, mukmin dapat diibaratkan sebagai seorang hero yang kehadirannya selalu
dieluh-eluhkan oleh orang disekitarnya. Adanya dia dalam masyarakat umum selalu
memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika kita tarik pada era
sekarang, sosok mukmin itu adalah aparat keamanan, hakim, dan pelayan
masyarakat. Secara Sosial kemasyarakatan, identitas mukmin tersebut tak harus
disandang oleh orang Islam saja, melainkan kepada siapa saja yang secara
kepribadian dan akhlak sejalan dengan definisi mukmin tersebut.
Beranjak menuju tingkatan yang lebih
atas, Secara vertikal -habluminallah- mendasarkan pada konteks agama Islam,
Muslim adalah orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah karena sholat,
ibadah, hidup, dan matinya semata-mata hanya karena Allah SWT. Secara horizontal
-habluminannas- makna atau hakikat muslim lebih melekat pada perilaku yang
dapat memastikan setiap ucapan dan tindakan seseorang tidak akan menyakiti baik
kepada sesama muslim ataupun sesama manusia, itulah muslim.
Diantara definisi tersebut, yang ketiga
inilah yang mungkin kita sering terjebak. Kafir, berasal dari kata kafaro yang artinya tertutup. Orang yang
menutup hatinya pada kebenaran-kebenaran yang dimiliki oleh Allah SWT. Hakikat
kafir dapat dibagi tiga hal, pertama adalah kafir dalam nikmat Allah. Artinya
orang tersebut tidak mensyukuri atas apa yang telah diberikan Allah kepadanya,
ia menutup kesyukurannya atas nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Baik itu nikmat kesehatan, harta kekayaan, keluarga, ilmu dan lain sebagainya. Ia
lupa bahwa semua yang ia milik tersebut adalah milik dan pemberian dari Allah
SWT. Orang yang seperti itu juga dapat disebut sebagai klasifikasi dari orang kafir.
Kedua kafir adalah menutup diri dari
nasihat orang lain. Menyombongkan diri atas ilmunya, karena ia merasa paling
benar sendiri dan tidak mau menerima masukan ataupu nasihat dari orang lain. Menganggap
dirinyalah yang paling baik dan menganggap orang lain berada dibawah
kemampuannya. Yang kedua inilah yang harus selalu kita waspadai, sebab siapa
tahu dalam kehidupan kita sehari-hari ada bintik kekafiran yang sebenarnya
sedang melekat dalam diri kita. Dan fatalnya itu tidak kita sadari. Jika kita
merujuk kembali pada hakikat kebenaran yang maha benar adalah milik Allah SWT. Ketika
kita berada dalam kondisi seperti itu, maka sama halnya kita merasa lebih
tinggi dari Allah. Padahal Allah telah memberikan petunjuk dan kebenarannya kepada
makhluknya salah satunya adalah melalui hambanya, yaitu melalui orang lain -menurut
pandangan kita-.
Ketiga adalah kafir sebagaimana yang
sudah kita ketahui, yaitu orang yang secara formal tidak masuk kedalam agama
Islam. Realita menunjukkan, banyak orang yang secara formal masuk Islam, namun
secara akhlak dan kepribadian tidak mencerminkan sebagai seorang yang Islam. Namun
sebaliknya, orang yang secara formal tidak masuk islam, namun secara
kepribadian dan akhaknya ia mencerminkan dirinya sebagai seorang yang Islam.
Parahnya, contoh ketiga inilah yang sering kita disebut sebagai kafir saat ini.
Orang lebih condong melihat input-nya
bukan output-nya, lebih melihat orang
itu islam, bukan pada akhlak dan kepribadiannya. Jika seseorang itu Islam, maka
dia pasti baik sedangkan jika itu bukan orang Islam, maka ia pasti tidak baik.
Pemikiran seperti itulah yang berpotensi menyesatkan kita dalam perpecahan.
Terlepas dari ketiga sub pembahasan
diatas. Emha Ainun Nadjib mengklasifikasiikan manusia kedalam tiga hal, yaitu
manusia wajib, manusia sunah, dan manusia haram. Manusia wajib adalah manusia
yang keberadaannya harus ada di tengah-tengah masyarakat. Artinya posisinya
benar-benar sangat vital dibutuhkan oleh masyarakatnya. Kedua adalah manusia
sunnah, yaitu manusia yang keberadaannya dalam masyarakat lebih baik ada dalam
masyarakat, namun semisal tidak juga tidak apa-apa. Sedangkan yang terakhir
adalah manusia haram, yaitu manusia yang keberadaannya dalam masyarakat justru
akan membuat ketidaknyamanan sosial, akan membuat masalah di tengah masyarakat,
lebih baik bagi masyarakat jika ia tidak hadir.
Sebagaimana telah dipaparkan diatas. Mudah
sekali kita mengatakan diri kita muslim, mudah sekali kita mengatakan orang
lain bukan mukmin, dan mudah sekali kita mengatakan orang lain itu kafir. Padahal
menilik pada diri kita sendiri, mungkin itulah yang sebenarnya masih melekat
pada diri kita. Kendati kata-kata tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
kita. Namun bisa jadi pengertiannya belum kita sadari sepenuhnya. Maka, langkah
awal yang harus kita lakukan adalah mencari, memahami, dan memaknai setiap apa
yang dirasa ragu dalam diri kita. Semoga menjadi bahan refleksi hidup kita. Semoga
posisi kita di tengah-tengah masyarakat menjadi bagian yang ditunggu dan
dirindukan kehadirannya. Dan semoga terhindar dari amalan-amalan kafir sesuai
dengan apa yang telah dituliskan diatas. Barokallahu fik ..
Imron
Wafdurrahman, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2011
Daftar
Pustaka:
Anonim. “Muslim adalah tingkatan umat islam kedua” diunduh dari http://berbagi-kreativitas.blogspot.com/2012/07/muslim-adalah-tingkatan- umat-islam-ke2.html#.UN5ex6x4hrM pada tanggal 28 Desember
2012
Saputra, Prayogi R. 2012. Spiritual Journey. Kompas: Jakarta