Welcome

Assalamu'alaikum wr. wb. ..

Sabtu, 29 Desember 2012

KITA MUKMIN, MUSLIM, ATAUKAH KAFIR?




        Apakah benar kita ini orang mukmin? Apakah sudah layak kita ini disebut sebagai seorang yang muslim? Ataukah sebenarnya identitas kafirlah yang cocok melekat pada diri kita ?. Jangan terburu-buru untuk membicarakan identitas terlebih dahulu sebelum kita mengetahui hakikat dari apa yang sedang kita perbincangkan. Mukmin, Muslim, dan Kafir, Seperti apakah definisi yang sebenarnya?.

“Kendati kata-kata tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Namun bisa jadi pengertiannya belum kita sadari sepenuhnya kecuali pengertian text book”.          
(Dosen Sastra Arab di sebuah Universitas di Malang)

        Mengawali urain tentang ketiga hal tersebut diatas, marilah kita memulainya dengan menjelaskan definisi mukmin menurut Rasulullah SAW. Mukmin berarti orang yang memberika rasa aman kepada semua manusia terhadap harta, darah, dan kehormatannya. Terlepas dari konteks agama, mukmin dapat diibaratkan sebagai seorang hero yang kehadirannya selalu dieluh-eluhkan oleh orang disekitarnya. Adanya dia dalam masyarakat umum selalu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika kita tarik pada era sekarang, sosok mukmin itu adalah aparat keamanan, hakim, dan pelayan masyarakat. Secara Sosial kemasyarakatan, identitas mukmin tersebut tak harus disandang oleh orang Islam saja, melainkan kepada siapa saja yang secara kepribadian dan akhlak sejalan dengan definisi mukmin tersebut.

        Beranjak menuju tingkatan yang lebih atas, Secara vertikal -habluminallah- mendasarkan pada konteks agama Islam, Muslim adalah orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah karena sholat, ibadah, hidup, dan matinya semata-mata hanya karena Allah SWT. Secara horizontal -habluminannas- makna atau hakikat muslim lebih melekat pada perilaku yang dapat memastikan setiap ucapan dan tindakan seseorang tidak akan menyakiti baik kepada sesama muslim ataupun sesama manusia, itulah muslim.

        Diantara definisi tersebut, yang ketiga inilah yang mungkin kita sering terjebak. Kafir, berasal dari kata kafaro yang artinya tertutup. Orang yang menutup hatinya pada kebenaran-kebenaran yang dimiliki oleh Allah SWT. Hakikat kafir dapat dibagi tiga hal, pertama adalah kafir dalam nikmat Allah. Artinya orang tersebut tidak mensyukuri atas apa yang telah diberikan Allah kepadanya, ia menutup kesyukurannya atas nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Baik itu nikmat kesehatan, harta kekayaan, keluarga, ilmu dan lain sebagainya. Ia lupa bahwa semua yang ia milik tersebut adalah milik dan pemberian dari Allah SWT. Orang yang seperti itu juga dapat disebut sebagai klasifikasi dari orang kafir.

        Kedua kafir adalah menutup diri dari nasihat orang lain. Menyombongkan diri atas ilmunya, karena ia merasa paling benar sendiri dan tidak mau menerima masukan ataupu nasihat dari orang lain. Menganggap dirinyalah yang paling baik dan menganggap orang lain berada dibawah kemampuannya. Yang kedua inilah yang harus selalu kita waspadai, sebab siapa tahu dalam kehidupan kita sehari-hari ada bintik kekafiran yang sebenarnya sedang melekat dalam diri kita. Dan fatalnya itu tidak kita sadari. Jika kita merujuk kembali pada hakikat kebenaran yang maha benar adalah milik Allah SWT. Ketika kita berada dalam kondisi seperti itu, maka sama halnya kita merasa lebih tinggi dari Allah. Padahal Allah telah memberikan petunjuk dan kebenarannya kepada makhluknya salah satunya adalah melalui hambanya, yaitu melalui orang lain -menurut pandangan kita-.

        Ketiga adalah kafir sebagaimana yang sudah kita ketahui, yaitu orang yang secara formal tidak masuk kedalam agama Islam. Realita menunjukkan, banyak orang yang secara formal masuk Islam, namun secara akhlak dan kepribadian tidak mencerminkan sebagai seorang yang Islam. Namun sebaliknya, orang yang secara formal tidak masuk islam, namun secara kepribadian dan akhaknya ia mencerminkan dirinya sebagai seorang yang Islam. Parahnya, contoh ketiga inilah yang sering kita disebut sebagai kafir saat ini. Orang lebih condong melihat ­input-nya bukan output-nya, lebih melihat orang itu islam, bukan pada akhlak dan kepribadiannya. Jika seseorang itu Islam, maka dia pasti baik sedangkan jika itu bukan orang Islam, maka ia pasti tidak baik. Pemikiran seperti itulah yang berpotensi menyesatkan kita dalam perpecahan.

        Terlepas dari ketiga sub pembahasan diatas. Emha Ainun Nadjib mengklasifikasiikan manusia kedalam tiga hal, yaitu manusia wajib, manusia sunah, dan manusia haram. Manusia wajib adalah manusia yang keberadaannya harus ada di tengah-tengah masyarakat. Artinya posisinya benar-benar sangat vital dibutuhkan oleh masyarakatnya. Kedua adalah manusia sunnah, yaitu manusia yang keberadaannya dalam masyarakat lebih baik ada dalam masyarakat, namun semisal tidak juga tidak apa-apa. Sedangkan yang terakhir adalah manusia haram, yaitu manusia yang keberadaannya dalam masyarakat justru akan membuat ketidaknyamanan sosial, akan membuat masalah di tengah masyarakat, lebih baik bagi masyarakat jika ia tidak hadir.

        Sebagaimana telah dipaparkan diatas. Mudah sekali kita mengatakan diri kita muslim, mudah sekali kita mengatakan orang lain bukan mukmin, dan mudah sekali kita mengatakan orang lain itu kafir. Padahal menilik pada diri kita sendiri, mungkin itulah yang sebenarnya masih melekat pada diri kita. Kendati kata-kata tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Namun bisa jadi pengertiannya belum kita sadari sepenuhnya. Maka, langkah awal yang harus kita lakukan adalah mencari, memahami, dan memaknai setiap apa yang dirasa ragu dalam diri kita. Semoga menjadi bahan refleksi hidup kita. Semoga posisi kita di tengah-tengah masyarakat menjadi bagian yang ditunggu dan dirindukan kehadirannya. Dan semoga terhindar dari amalan-amalan kafir sesuai dengan apa yang telah dituliskan diatas. Barokallahu fik ..

Imron Wafdurrahman, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2011

Daftar Pustaka:

            Anonim. “Muslim adalah tingkatan umat islam kedua” diunduh dari  http://berbagi-kreativitas.blogspot.com/2012/07/muslim-adalah-tingkatan- umat-islam-ke2.html#.UN5ex6x4hrM pada tanggal 28 Desember 2012
            Saputra, Prayogi R. 2012. Spiritual Journey. Kompas: Jakarta