Seorang
atlet angkat besi -bisa dibilang sebagai atlet yang profesional- dalam sebuah
wawancara ditanyai oleh seorang wartawan dari salah satu media terkemuka. “strategi
apa yang anda gunakan hingga mampu mengangkat beban seberat itu ?”, tanya wartawan
itu. Atlet itu menjawab: “Saya tidak menggunakan strategi apa-apa, hanya
keyakinan dalam diri saya bahwa saya sanggup untuk mengangkat beban seberat
itu, walaupun dulunya belum pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”.
Itulah kutipan wawancara singkat dari jawara angkat besi di sebuah kompetisi
keolahragaan cabang angkat besi. Setelah melakukan wawancara singkat, pria
bertubuh sangar itu kemudian naik ke atas podium untuk penyerahan medali. Tak
pernah ia membayangkan sebelumnya bahwa ia akan mampu untuk meraih medali emas,
hanyalah bermodal keyakinan yang ia tanamkan pada dirinya dan usaha maksimal
bahwa ia mampu mengangkat beban yang lebih berat di setiap angkatannya, dan
melakukannya dengan lebih baik.
Melihat dari situ, kunci dari sebuah keberhasialan
salah satunya dengan menanamkan keyakinan dan memaksimalkan kemampuan. Tanpa
memperhitungkan hasil, ketika kita yakin dan maksimal dalam menjalankan, dengan
usaha yang baik dan fokus maka hasil yang kelak diperoleh akan sesuai dengan usaha
dan keyakinan yang kita tanamkan sejak awal. Karena keberhasilan itu bergantung
pada proses dan keyakinan dalam menjalankannya. Man jadda wajada, untaian mantra sihir yang akan memopa kemampuan
kita untuk berani melangkah dengan keyakinan yang terbaik yang pernah kita
miliki.
Disini saya ingin membagi pengalaman
saya berkaitan dengan dinamisme organisasi dan pergerakan. Nyatanya -karena ini
merupakan realita- kehidupan seorang aktivis tak akan terlepas dari sebuah
amanah. Banyak diantara mereka yang karena militansi dan idealisme yang tinggi
dalam berorganisasi, mempunyai banyak aktivitas dalam payung atap pergerakan
yang berbeda-beda. Semangat pengembangan kemampuan yang menjadi dasar mereka
konsisten dalam menjalankan rutinitas keorganisasiannya. Namun, di lain sisi
ketika eksistensi dan kontribusi para aktivis tersebut mampu dijalankan dengan
baik –dalam pandangan pergerakan tertentu- maka kontribusi mereka pun akan
semakin dibutuhkan dalam persaingan mobilitas antar pergerakan dan organisasi.
Tarik ulur kontribusi dalam berorganisasi pun silih berganti menghiasi buku
harian para aktivis.
Kasus yang sering terjadi -mungkin saya
juga mengalami-, dualisme organisasi adalah trending
topic, yang merupakan part of the
problem yang harus diselesaikan. Contohnya; ketika organisasi yang ia
geluti sedang mempunyai gawe yang
besar, dan kontribusi pengurus aktif sedang dibutuhkan, maka eksistensi dan
loyalitas seorang pengurus dalam berorganisasi harus mampu dioptimalkan dan
dimaksimalkan dengan baik, agar keterselenggaraan gawe tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sukses. Akan
menjadi sebuah permasalahan baru ketika hal tersebut juga sedang dialami oleh
organisasi atau pergerakan lain yang ia pun juga aktif didalamnya, kontribusinya
juga sangat dibutuhkan. Terjadi tarik-ulur antara kedua belah pihak (ini jika
ia aktif dalam dua organisasi), belum lagi semisal aktivis dalam tiga
organisasi, atau bahkan lebih. Kemampuan dan profesionalitas serta etos kerja
seorang aktivis dipertanyakan dalam hal ini, sanggup kah ia mengangkat beban
berat yang ia emban?, masihkah kau mengangkatku dengan kedua tanganmu?.
“hanya keyakinan dalam diri saya bahwa saya
sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum pernah
mengangkat beban lebih dari yang saya mampu”.
Tapi kenyataannya, beban yang ia yakini
mampu untuk ia angkat tidak dapat ia angkat dengan baik. Walaupun mungkin beban
yang ia angkat itu tak seberat beban-beban yang lain. Ia yakin mampu mengangkat
amanah tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya usaha yang ia lakukan hanya
sebatas omongan dan terkesan setengah-setengah. Kecemburuan sosial organisasi
akan terjadi jika hal semacam ini terus mewabah dalam lingkungan aktivis
pergerakan dan organisasi. Sebuah amanah itu memang berat, namun jika kita
yakin mampu mengangkatnya dengan usaha yang baik, maka hasil yang terbaik pun akan
kita dapatkan. Tetapi ketika keyakinan itu tak diimbangi dengan usaha dan etos kerja
profesional yang baik, maka amanah itu pun tidak akan mampu terangkat dengan
baik, walaupun perlombaan itu tetap terlaksana.
Pemimpin adalah kemudi utama dalam
kendaraan, baik buruknya sebuah perjalanan tergantung pada pengemudinya. Amanah
untuk menjadi seorang jendral perjalanan adalah amanah yang paling berat,
dimana tanggung jawabnya akan digadaikan dengan hasil dari ketercapaian amanah
tersebut. Sebagai seorang aktivis organisasi, antara jawaban ‘iya’ ataupun ‘tidak’
sangatlah penting untuk orientasi kedepan. Amanah yang berat seperti itu akan
terasa lebih berat jika kita hanya mengangkatnya dengan sebelah tangan, begitulah
beratnya nilai amanah jika usaha kita tak 100% loyal kita berikan kepada hal
tersebut. Tersindirlah hati kita atas perkataan Benyam Franklin, bahwa melakukan
yang baik itu memang lebih baik daripada mengucapkan yang terbaik.
Kita
belajar kembali pada perkataan jawara angkat besi; hanya keyakinan dalam diri
bahwa akan sanggup untuk mengangkat beban seberat itu, walaupun dulunya belum
pernah mengangkat beban lebih dari yang saya mampu. Mempertimbangkan;
Keyakinan, Usaha Maksimal, Etos dan profesionalitas dalam bekerja akan membuat
militansi dalam berorganisi akan meningkat. Kadang kita harus memaksa ketegasan
dalam memilih, terima jika sanggup dan tolak jika tak sanggup -walaupun
sebenarnya mampu- daripada kita hanya mengangkat amanah tersebut dengan sebelah
tangan. Itu akan lebih baik daripada tak mampu maksimal dalam mengangkat amanah
setinggi seperti jawara angkat besi.
Setiap
Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin olehnya, bukan
semata-mata ucapan manusia tetapi seperti itulah janji-Nya kepada kita.